Misa Suwarsa Ahli Jamur "Jurig Supa" dari Karawang
Kisah Bapak Misa Suwarsa:
Misa seperti menjalani konsep Restorasi Meiji, manabu (belajar), maneru (meniru), dan nusumu (mencuri) ilmu pengetahuan dan teknologi.
Doktor teknik kimia Institut Teknologi Bandung (1985) ini berhasil menciptakan bibit jamur merang sendiri. Setelah 30 tahun dia mengembangkan
bibit itu, kini mantan pegawai badan Tenaga Nuklir Nasional itu berhasil menjadi jurig supa (bahasa Sunda) atau hantu jamur.
Misa dianggap sebagai ahli atau tukang jamur.
Selain pernah dikucilkan keluarga, ia juga dikucilkan almamater akibat tindakan "restorasinya" dari ranah intelektual akademis ke pematang sawah.
"Ijazah S-3 hingga kini belum pernah saya pegang karena harus ditebus Rp.200 juta. Saya tidak mau..........," ujarnya.
Kisahnya dimulai tahun 1989-an ketika ia memutuskan keluar dari pengajar di ITB dan beralih menjadi petani jamur.
"Saat itu gaji saya sudah Rp.1.920 juta, ketika (nilai satu) dollar AS masih Rp.1.500,"kenangnya.
Keputusan itu mengundang kemarahan orangtuanya,ia lalu diusir dari keluarganya di Depok.
Hanya dengan bekal Rp.10.000, ia pun harus meninggalkan keluarga besarnya. "Itu uang dari ibu saya," katanya.
Misa dianggap intelektual dungu. Dengan bekal uang dan baju seadanya, ia pergi ke Karawang.
Daerah lumbung padi ini merupakan kawasan potensial budidaya jamur merang.
Setibanya di Karawang,
Misa langsung mencari kubung, bekas budidaya jamur yang sudah tidak dipakai di Tanjungpura, perbatasan Karawang-Bekasi.
Dia berjalan kaki berkilo-kilo meter menyusuri irigasi mencari pemilik kubung untuk meminjamnya.
Hari sudah malam setiba di dekat kubung. "Saya tidur di kandang kambing karena petani ini anaknya 12 orang," kenangnya.
Petani miskin yang ditemuinya itu tertarik dengan cerita Misa soal budidaya jamur, tetapi tidak punya modal untuk membudidayakannya.
Sementara empat kubung yang tersedia di sana harus disewa Rp.200.000 per kubung.
Misa pun kemudian meminjam uang "monyet" (pinjaman rentenir) . Jika pinjam Rp.200.000, harus kembali Rp.300.000 dalam sebulan.
Mereka butuh modal Rp.600.000 untuk media tanam, yakni jerami dan kapas. uang yang tersedia adalah uang "setan" atau "uang iblis".
Warga desa menyebut uang pinjaman itu demikian karena pengembalian uang panas itu amat menjerat. Jika pinjam Rp.600.000,
harus kembali Rp.1,2 juta dalam sebulan.
Misa benar-benar dipersimpangan jalan. Yang bisa dia lakukan hanya shalat tahajud (shalat malam) selama tiga malam.
Tuhan pun memberikan jalan untuk melangkah. Dia mendapat pinjaman tanpa agunan.
Dia memperbaiki kubung dengan mengangkut jerami sendiri dari sawah. Daun kelapa untuk biliknya dia ambil dengan memanjat pohon sendiri.
"Badan saya lecet-lecet," ceritanya.
Singkat kata, delapan hari kemudian, bibit jamur yang dia buat sendiri tumbuh dengan baik dan dijual di pasar Cikampek, Karawang,
dengan harga total Rp.1,45 juta.
Dia mengembalikan pinjaman Rp.1,2 juta sesuai perjanjian tertulis diatas segel. "Uang tersisa hanya Rp.250.000," ujarnya.
Namun, setelah itu pemilik tanah kubung tidak mengizinkan lagi Misa menanam jamur.
Misa akhirnya bertemu dengan pemilik kubung bekas sopir Kedutaan Besar Amerika Serikat.
Pemilik kubung itu memang menyerahkan pengelolaan, tetapi tidak meminjamkan modalnya.
Misa kembali kepada rentenir. Tetapi, kali ini hanya ada uang "jalan". Itu sebutan uang pinjaman yang harus dikembalikan
secepat mungkin. Jika meminjam Rp.300.000, harus kembali Rp.600.000 dalam delapan hari!
Tanpa berpikir panjang, ia modali empat kubung.
Delapan hari kemudian, Misa mampu mengembalikan modalnya kepada tukang pukul yang menagihnya. Dari satu kubung,
pinjaman itu lunas selama delapan hari. Tiga kubung lainnya mampu menghasilkan 1 ton jamur merang.
Empat bulan kemudian, dia berhasil membeli empat kubung bersama 1.500 meter lahanya di Tanjungpura, Karawang.
Dibakar warga
Misa memulai kehidupan baru usaha pembibitan dan budidaya jamur merang di tempat itu. Dari empat kubung terus dikembangkan
menjadi 12 kubung, dan hasilnya puluhan juta rupiah.
Misa lalu membeli 1 hektar sawah senilai Rp.50 juta tahun 1991 untuk memproduksi jerami. Karena tinggal di lingkungan petani miskin,
perkembangan usaha Misa yang sangat cepat itu menimbulkan kecemburuan.
"Kami sudah berpuluh-puluh tahun menanam padi tetap miskin,
tapi si jurig supa hanya beberapa bulan sudah kaya raya," kenang Misa menirukan umpatan warga. Mereka pun ramai-ramai membakar
kubung-kubung jamur Misa.
"Hati saya hancur saat melihat kepulan asap keluar dari sisa-sisa pembakaran kubung," kata Misa. Ia pun stres dan hampir frustasi
menerima peristiwa pada pertengahan tahun 1992 itu. Namun, ia segera bangkit, membangun 30 kubung baru senilai Rp.35 juta
dengan uangnya yang tersimpan di dalam drum selama usahanya berbulan-bulan.
Profil Misa Suwarsa
Lahir : Depok, Jawa Barat, 9 April 1959
Istri : Yani Sumarni (38)
Anak : Muhamad Hidayatulah (16); Siti Nurjanah (7)
Pendidikan :
- SD, SMP, SMA di Depok
- S-1 Kimia Teknik Universitas Muhammadiyah Jakarta
- S-2 Kimia Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB)
- S-3 Universitas Sorbonne, Perancis dan ITB
- Belajar jamur di Universitas Shanghai, 2004
Pekerjaan :
- Kepala Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang, Kelompok Tani Jamur Prima, Desa Mekar jati, Kecamatan Karawang Barat, Karawang, Jabar
Usahanya berkembang pesat karena dibantu puluhan tenaga kerja. Seiring berjalannya waktu, Misa membuka pelatihan magang
bagi para calon wira usaha melalui Pusat Pendidikan dan Latihan Jamur Merang Kelompok Tani Jamur Prima, Karawang.
Misa bercerita mendapat ilmu "perjamuran" itu semasa masih mengajar di ITB, tinggal di Dago bandung Utara. Saat itu dia bertetangga
dengan Prof Han, guru besar yang saat itu menjadi dosen tamu mikrobiologi di ITB.
Suatu saat, profesor itu harus segera pulang ke negerinya, Jerman.
Dia menitipkan buku-buku miliknya yang tak sempat dibawa pulang ke negerinya kepada Misa. "Saya percayakan kepada kamu.
Buku-buku ini jangan ssampai keluar karena bersama 40 profesor lain kami sudah disumpah untuk tidak keluar ke negara lain," ujar Prof Han.
Dasar "tukang insinyur sableng", sesudah guru besar pergi, ia melakukan nusumu, mempelajari buku-buku mikrobiologi itu.
"Ternyata bahasanya China ssehingga saya harus minta bantuan seorang teman menerjemahkan," kata Misa.
Dari situlah Misa nekat hengkang dari ITB dan menjadi jurig supa hingga sekarang. Dari pusat pendidikannya,
kini sudah ratusan orang menjadi pembudidaya jamur diseantero Nusantara.